Meski menolak dikunjungi, saya tetap menerima draft wawancara yang dikirim mbak redaktur via email. Tidak berapa lama kemudian saya membaca sebuah buku berjudul "Puzzle Mimpi" yang berkisah tentang perjalanan hidup dan bisnis Teh Indari Mastuti, CEO Indscripcreative, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agensi naskah. Saat menjadi finalis Wirausaha Mandiri beberapa tahun silam dan diundang ke Jakarta untuk mengikuti serangkaian sesi penjurian, ternyata kondisi perusahaan yang dipimpinnya tidak sedang dalam kondisi baik, bahkan bisa dibilang sedang atau nyaris kolaps. Membaca buku ini membuat saya sedikit banyak merenung. Tidak baik minder berlebihan. Ketika ada peluang untuk dipromosikan secara gratis... Why not?
Sekitar dua atau tiga bulan kemudian Mbak Annisa kembali menghubungi saya dan bertanya kapan bisa datang ke rumah. Dengan hati berdebar saya pun menentukan sebuah tanggal. Hari itu Mbak Annisa datang dengan membawa satu eksemplar tabloid yang di dalamnya berisi profil sebuah usaha pie susu di Surabaya yang telah mapan: B*lv*a. Saya pun ngaca dan rasa minder kembali mendera: Bagaikan bumi dan langit perbedaannya!
Di tengah sesi pemotretan produk, iseng-iseng saya bertanya, "Mbak kenapa kok pilih Pie Suramadu untuk diliput?" "Iya mbak saya emang browsing produsen pie di Internet. Ketemu cuma 2 yaitu B*lv*a dan Pie Suramadu," begitu kurang lebih jawaban mbak redaktur. Di situ saya sadar betapa dahsyat kekuatan online marketing. Blog sederhana yang saya buat telah mengantarkan seorang redaktur tabloid kuliner ke rumah seorang produsen pie yang di dunia nyata sama sekali tidak diperhitungkan! Ya... ya... Produsen pie di Surabaya mungkin ada banyak. Namun yang bermain di online mungkin masih bisa dihitung dengan jari.
Saat tabloid yang memuat liputan Pie Suramadu terbit, saya sempat kaget karena tajuknya adalah : "Pie Suramadu, Renyahnya Oleh-oleh Khas Suramadu." Ini sesuai dengan apa yang pernah ada di pikiran saya saat musim liburan dan melihat berderet mobil yang mengantri untuk menyeberang ke jembatan Suramadu. "Kalau saya jualan di dekat situ pasti laku, " pikir saya (maksudnya di pinggir jalan raya yang menuju gerbang Tol Suramadu).
Ternyata takdir berkata lain. Bukan jalan itu yang akhirnya saya pilih. Buka lapak offline, terlalu berat bagi saya. Saya lantas mulai menggiatkan online marketing dengan menyusup ke grup-grup kuliner yang ada di Facebook. Pertengahan Ramadhan 2015, pesanan mulai ramai. Lebaran 2016, dalam sebuah momen kumpul keluarga, kakak saya berkata kurang lebih seperti ini, "Coba dipikirin gimana caranya memperkuat branding. Sehingga orang kalau ke Surabaya, yang dicari adalah Pie Suramadu." Sesungguhnyalah saat kakak saya berkata demikian, branding itu sudah mulai terbentuk. Branding itu tak muncul tiba-tiba. Branding itu berproses sejak awal berdirinya di penghujung 2013. Diwarnai insiden jatuh bangun yang cukup menguras energi dan air mata. Sebab kami bukanlah artis yang bermodalkan nama tenar bisa melejitkan penjualan sebuah kue bahkan di hari pertama buka.
#Bangkitlah_UKM_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar