Senin, 30 Januari 2017

MINDER, MIMPI, DAN BRANDING

Sekitar dua tahun yang lalu, saat Mbak Annisa Nurul Aini, redaktur tabloid Lezat minta izin datang ke rumah untuk meliput usaha Pie Suramadu, saya sempat menolak dengan alasan sedang sibuk. Waktu itu kami masih berlokasi di kawasan Suramadu, di sebuah rumah petak kecil berukuran 5x11. Saya yang minderan merasa lokasi kami sangat tidak representatif. Ditambah waktu itu usaha kami masih dalam tahap merintis. Omzet harian tidaklah banyak. Pesanan masih jarang. Satu-satunya cara pemasaran andalan kami adalah dengan sistem titip-jual di toko-toko kue dan kantin-kantin sekolah yang pada kenyataannya kurang bisa diandalkan karena lebih sering retur. Kondisi finansial kami juga saat itu tidak terlalu baik sehingga tidak bisa berbuat banyak terkait marketing.
 
Meski menolak dikunjungi, saya tetap menerima draft wawancara yang dikirim mbak redaktur via email. Tidak berapa lama kemudian saya membaca sebuah buku berjudul "Puzzle Mimpi" yang berkisah tentang perjalanan hidup dan bisnis Teh Indari Mastuti, CEO Indscripcreative, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agensi naskah. Saat menjadi finalis Wirausaha Mandiri beberapa tahun silam dan diundang ke Jakarta untuk mengikuti serangkaian sesi penjurian, ternyata kondisi perusahaan yang dipimpinnya tidak sedang dalam kondisi baik, bahkan bisa dibilang sedang atau nyaris kolaps. Membaca buku ini membuat saya sedikit banyak merenung. Tidak baik minder berlebihan. Ketika ada peluang untuk dipromosikan secara gratis... Why not?

Sekitar dua atau tiga bulan kemudian Mbak Annisa kembali menghubungi saya dan bertanya kapan bisa datang ke rumah. Dengan hati berdebar saya pun menentukan sebuah tanggal. Hari itu Mbak Annisa datang dengan membawa satu eksemplar tabloid yang di dalamnya berisi profil sebuah usaha pie susu di Surabaya yang telah mapan: B*lv*a. Saya pun ngaca dan rasa minder kembali mendera: Bagaikan bumi dan langit perbedaannya!

Di tengah sesi pemotretan produk, iseng-iseng saya bertanya, "Mbak kenapa kok pilih Pie Suramadu untuk diliput?" "Iya mbak saya emang browsing produsen pie di Internet. Ketemu cuma 2 yaitu B*lv*a dan Pie Suramadu," begitu kurang lebih jawaban mbak redaktur. Di situ saya sadar betapa dahsyat kekuatan online marketing. Blog sederhana yang saya buat telah mengantarkan seorang redaktur tabloid kuliner ke rumah seorang produsen pie yang di dunia nyata sama sekali tidak diperhitungkan! Ya... ya... Produsen pie di Surabaya mungkin ada banyak. Namun yang bermain di online mungkin masih bisa dihitung dengan jari.

Saat tabloid yang memuat liputan Pie Suramadu terbit, saya sempat kaget karena tajuknya adalah : "Pie Suramadu, Renyahnya Oleh-oleh Khas Suramadu." Ini sesuai dengan apa yang pernah ada di pikiran saya saat musim liburan dan melihat berderet mobil yang mengantri untuk menyeberang ke jembatan Suramadu. "Kalau saya jualan di dekat situ pasti laku, " pikir saya (maksudnya di pinggir jalan raya yang menuju gerbang Tol Suramadu).

Ternyata takdir berkata lain. Bukan jalan itu yang akhirnya saya pilih. Buka lapak offline, terlalu berat bagi saya. Saya lantas mulai menggiatkan online marketing dengan menyusup ke grup-grup kuliner yang ada di Facebook. Pertengahan Ramadhan 2015, pesanan mulai ramai. Lebaran 2016, dalam sebuah momen kumpul keluarga, kakak saya berkata kurang lebih seperti ini, "Coba dipikirin gimana caranya memperkuat branding. Sehingga orang kalau ke Surabaya, yang dicari adalah Pie Suramadu." Sesungguhnyalah saat kakak saya berkata demikian, branding itu sudah mulai terbentuk. Branding itu tak muncul tiba-tiba. Branding itu berproses sejak awal berdirinya di penghujung 2013. Diwarnai insiden jatuh bangun yang cukup menguras energi dan air mata. Sebab kami bukanlah artis yang bermodalkan nama tenar bisa melejitkan penjualan sebuah kue bahkan di hari pertama buka.



Di akhir 2016. Setelah mengalami banyak metamorfosis. Akhirnya yang menjadi produk andalan kami adalah pie susu jumbo. Di penghujung tahun ini pula kami bisa me-launching dus kemasan yang telah tercetak merk dan logo (sebelumnya hanya dus polos biasa). Bayangkanlah! Setelah 3 tahun, baru cukup uang terkumpul untuk mencetak dus kemasan. 😄 Pie Suramadu sebagai oleh-oleh khas Suramadu pernah menjadi bagian dari mimpi saya. Dan setelah kepindahan kami dari wilayah pinggiran menjadi berlokasi lebih ke tengah kota, semakin banyak wilayah yang bisa dijangkau oleh layanan delivery order kami, imej pun melebar menjadi oleh-oleh Surabaya. Semua berjalan alamiah. Tanpa kami mengklaim atau gembar-gembor sebagai oleh-oleh khas Surabaya, rata-rata orang yang order pie di akhir pekan sebagian besar akan berkata kurang lebih seperti ini: "untuk oleh-oleh, Mbak. Tolong ya diantar sebelum jam sekian soalnya jam sekian saya berangkat ke bandara... "

#Bangkitlah_UKM_Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar